Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid"
Kalau sekadar dikotomi sunni-shi'i, itu jelas saja bermasalah. Tapi dhamir saya juga sepertinya memberitahu bahawa dikotomi muslim-kafr seperti harus direnung baik-baik. Seolah-olah ada yang tak selesai, atau sering salah-tafsir di sana.
Namun begitu, hal ini tak menghalang untuk saya memetik kembali kata-kata Imam Ja'far as-Shadiq. Sebuah petikan yang diperoleh dari makalah Muhsin Labib: "Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid."
Mengapa saya memetik penggalan ini? Sebab, kata Imam Ja'far as-Shadiq tentang Khoda (Tuhan) ini juga adalah kata jiwa saya. Sebuah kata dari rasa ufuk yang tertanam dalam diri.
Kalangan demokrat Malaysia, tentu menyangka Indonesia sehadapan berbanding Malaysia. Sekilas, itu benar. Tapi, berkilas-kilas, Malaysia dan Indonesia tetap terkepung dalam kemelut yang sama. Inilah barangkali dinamakan mentaliti dunia ketiga.
Satu dekad lagi, Malaysia dicanangkan bakal menempa negara maju, konon. Tapi, hakikatnya, bayang-bayangnya pun masih jauh. Kelemahan pengangkutan awam, kelembikan birokrasi, pembaziran dana, keselesaan hidup tanpa-tujuan, proses kerajaan-sosial yang baku, itu semua menjadi jawapan atas ketiadaan bayang tersebut.
Hari demi hari, saya begitu terkesan. Dalam segala polemik yang membadai Malaysia, seringkali saja gagal mematangkan rakyat. Kalau polemik sendiri tak membawa kejernihan, maka apa lagi yang mahu diharapkan? Lihat saja polemik PPSMI, rasuah,Kepala Lembu, dan kini kata Allah, akhirnya wacana itu akan disudutkan dan mati dalam keputusan politik. Bukan keputusan intelektual.
Dengan keputusan politik sebegini, rakyat akan diajar untuk menerima, tanpa kritis, seakan itulah jawapan mutlak. Justeru, sebarang persoalan intelektual terus dibiarkan tergantung, tanpa wacana-tanding. Nah, sebuah pertanyaan, apakah Malaysia siap untuk berminda negara maju, tatkala wacana segera mahu dimatikan?
Barangkali, dari satu sisi, ada kebanggaan pada Indonesia, nikmat kebebasannya (yang tak nafi kadangkala juga semu).
No comments:
Post a Comment